HTML

materi kuliah

Selasa, 26 Oktober 2010

skripsi seni rupa

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kebudayaan Indonesia adalah kebanggaan nasional, Bhinneka Tunggal Ika atau beraneka ragam tetapi tetap satu, ini merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan masyarakat Indonesia yang majemuk. Masyarakat Indonesia terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari banyak suku bangsa dengan aneka latar belakang kebudayaan, agama, dan sejarah. Sungguhpun demikian kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh keanekaragaman sosial budaya yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia itu beragam budaya (Pidato Presiden RI, 1984 : 939).
Pada hakekatnya budaya Indonesia adalah satu sedangkan corak ragam budaya menggambarkan kekayaan budaya bangsa. Kekayaan budaya bangsa tersebut menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya yang hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh bangsa. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya bangsa Indonesia terus dibina dan dikembangkan guna memperkuat persatuan dan kesatuan serta kepribadian bangsa. Dengan demikian pengembangan kebudayaan nasional harus diarahkan kepada nilai-nilai luhur yang menjamin pengembangan ketangguhan bangsa Indonesia dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara untuk menuju kejayaannya.
Bangsa Indonesia terkenal dengan kekayaannya yang melimpah ruah baik itu kekayaan alam maupun kekayaan budaya.
Kekayaan itu adalah warisan nenek moyang sejak dulu kala. Setiap daerah di Indonesia memiliki etnik budaya sendiri dan merupakan kekayaan bangsa. Keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia yang senantiasa dijaga dan dilestarikan secara turun temurun itu adalah merupakan gambaran kekayaan bangsa Indonesia menjadi modal dan landasan pembangunan dan pengembangan kebudayaan nasional.
Pengembangan kebudayaan nasional berarti memelihara, melestarikan, menghadapkan, memperkaya, menyebarluaskan, memanfaatkan, dan meningkatkan mutu serta daya guna kebudayaan. Mengingat hal tersebut kebudayaan juga merupakan warisan nasional yang akan dapat dimiliki oleh setiap warga masyarakat pendukungnya dengan cara mempelajarinya. Dengan mengetahui beberapa cara atau mekanisme tertentu dalam setiap masyarakat untuk mendorong setiap warganya mempelajari kebudayaan terkandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Mematuhi norma-norma serta menjunjung nilai-nilai sangat penting bagi masyarakat itu sendiri dalam melestarikan kehidupan berbudaya dan bermasyarakat menurut Dikson (1928). Kebudayaan itu mencakup dua aspek, yaitu :
1. Jumlah dari semua aktivitas (manusia) kebiasaan dan kepercayaan
2. Keseluruhan dari semua hasil dan kreativitas manusia, peraturan-peraturan sosial dan keagamaan, adat istiadat dan kepercayaan yang biasa kita sebut peradaban. (dalam Rosmala Dewi 2004 : 6)

Mengikuti sejarah perkembangan kesenian di negara kita khususnya di Sulawesi Selatan, sejak kemerdekaan Indonesia dirasakan adanya dua sikap mental masyarakat yang senantiasa membayangi pertumbuhannya, ialah adanya sikap golongan masyarakat tradisional yang fanatik dan tetap mempertahankan nilai-nilai masa lampau. Yang kedua ialah golongan yang lebih modern yang dapat memahami nilai-nilai yang sedang berkembang.
Daerah Sulawesi Selatan dengan latar belakang sejarahnya yang lampau memiliki aneka ragam kesenian yang agung dan tidak senilai harganya yang apabila digali, dan diolah secara baik akan dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam pembinaan kebudayaan nasional yang kita harapkan. Di era globalisasi saat ini kebudayaan bangsa Indonesia mengalami ancaman kepunahan yang diakibatkan oleh pengaruh budaya dari luar dan kurangnya perhatian dan minat generasi muda terhadap budaya sendiri khususnya upacara adat yang mengakibatkan salah satu dari beberapa warisan budaya kita menjadi punah, ini berarti nilai-nilai estetika, etika, kaidah, serta falsafah akan hilang dari kehidupan manusia.
Perkembangan kesenian tradisional khususnya “Tari Pa’jaga“ dalam upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang telah mengalami banyak perubahan akibat modernisasi dalam pembangunan pada masa transisi seperti di Indonesia sekarang ini. Banyak di antara anggota masyarakat yang lebih menyukai budaya yang sifatnya kreasi dan modern daripada budaya yang sifatnya tradisional yang banyak dimiliki oleh setiap provinsi seperti di Sulawesi Selatan.
Dalam hal ini Kabupaten Enrekang memiliki warisan budaya nasional seperti peninggalan sejarah, adat istiadat, kesenian rakyat. Salah satunya adalah tradisi budaya yang sangat unik berupa upacara Maccera’ Manurung. Dalam upacara Maccera’ Manurung tersebut berbagai kegiatan dilakukan salah satunya adalah tari-tarian (Tari Pa’jaga), Tari Pa’jaga pada upacara Maccera’ Manurung di Kabupaten Enrekang tersebut mempunyai peran yang sangat penting dan tidak bisa dihilangkan dalam prosesi pelaksanaan upacara.
Bertolak dari hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti kegiatan tersebut dengan judul “Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan beberapa permasalahan yang menyangkut penelitian yakni :
1. Bagaimana sejarah Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang?
2. Bagaimana bentuk penyajian Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejarah pertunjukan Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.
2. Untuk mengetahui bentuk penyajian Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat dan generasi yang akan datang tentang kesenian tradisional yang ada di Sulawesi Selatan khususnya Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.
2. Menambah bahan dan inventarisasi jenis tari tradisional dan upacara adat di Sulawesi Selatan.
3. Untuk meningkatkan kreatifitas para seniman dalam rangka mengupayakan agar kesenian daerah khususnya di Kabupaten Enrekang dapat berkembang dalam kehidupan sekarang ini.
4. Untuk daerah yang ditempati penelitian agar senantiasa dapat memelihara dan melestarikan kebudayaannya.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini akan dikemukakan pendapat para ahli yang relevan dengan masalah penelitian dan merupakan faktor pendukung terlaksananya penelitian ini, adapun pendapat para ahli sebagai berikut :
1. Pengertian Tari
Seni tari pada hakekatnya adalah ungkapan nilai-nilai keindahan dan keluhuran lewat gerak dan sikap atau ungkapan jiwa yang mendukung unsur-unsur keindahan dan menjelma dalam bentuk gerakan yang teratur dengan irama yang mengiringinya. Secara umum pengertian tari dapat dikatakan sebagai gerak yang indah dan ritmis. Dengan landasan bahwa materi baku dari tari adalah gerak, maka tidaklah mengherankan apabila ahli tari mengemukakan pendapat bahwa tari lahir bersama-sama dengan lahirnya manusia di dunia. Curth Sachs mengemukakan defenisi tari yang singkat sekali bahwa tari adalah “gerak yang ritmis” (Munasia Najamuddin, 1983 : 12)
Menurut Susanne K Langer tari adalah “ekspresi yang indah yang bisa menggetarkan perasaan manusia”. Adapun gerak yang indah adalah “gerak yang distilir yang di dalamnya mengandung ritme” (La Meri : 1986). Corry Hartong dari Belanda tari adalah “gerak-gerak yang berbentuk ritme dari badan di dalam ruang.” (Munasiah Najamuddin : 1987 : 12). Seorang ahli dari Jawa yang bernama Pangeran Suryadiningrat mengemukakan sebuah defenisi tari yang berbunyi “tari dalah gerakan dari seluruh tubuh manusia yang disusun selaras dengan musik serta mempunyai maksud tertentu. (Garha : 1977 : 6)
2. Unsur-unsur Tari
Secara umum kegiatan tari (menari) dapat dilakukan dengan baik, sesuai dengan ragam gerak yang telah ditentukan oleh piƱata tari apabila didukung oleh unsur-unsur tari yang baik dan ideal. Unsur-unsur tari terdiri dari tenaga, ruang, dan tempo/waktu, dan Iyus Rusliana, dkk memaparkan secara singkat sebagai berikut:
a. Tenaga
Pengaturan dan pengendalian tenaga pada waktu menari, merupakan salah satu faktor yang harus dikuasai oleh seorang penari. Tanpa pengaturan dan pengendalian tenaga yang baik, tentu saja akan mempengaruhi penampilan dan estetika suatu tari. Dalam melakukan kegiatan tari sering kita melihat berbagai gerakan seperti lari-lari kecil, berdiri dengan sebelah kaki, jinjit, membungkuk, jongkok dan lain-lain dalam rentang waktu tertentu yang sudah barang tentu membutuhkan tenaga prima dan kekayaan tenaga si penari.
Kekayaan ini meliputi : yang lemah/halus atau ringan, yang sedang, dan yang kuat/keras. Dengan pengendalian atau penggunaan tenaga yang sama (stabil) secara terus menerus, akan menghasilkan kekuatan gerak yang sama pula. Namun, jika pengaturan dan pengendalian tenaga yang berbeda, akan tampak perbedaan-perbedaan serta kontrasnya suatu gerak. Kekontrasan dari suatu kekuatan tenaga baik dari yang halus ke tenaga yang kuat atau sebaliknya merupakan suatu ungkapan gerak yang akan membangkitkan suatu kesan yang mendalam, serta merupakan pula suatu kekuatan yang akan tampak dan terasa baik oleh penonton maupun dengaan oleh penari sendiri.
b. Ruang terwujudnya atau terungkapnya gerak, mustahil suatu gerak lahir tanpa adanya ruang gerak.
Pokok-pokok permasalahan yang terkandung dalam ruang lingkup tempat / ruang menari (dance space), yaitu (1) posisi (arah hadap dan arah gerak), dan (2) level atau tingkatan dan jangkauan gerak. Posisi sebagai salah satu aspek ruang dimaksudkan untuk menunjukkan dimana letak/arah si penari memulai gerak (arah hadap), dan untuk menunjukkan kemana arah atau tujuan gerak itu dilakukan atau menuju kemana gerak yang berubah tempat itu (arah gerak). Level atau tingkatan gerak meliputi penampilan-penampilan sikap/pose, gerak diam atau gerak ditempat (still movement) dan gerak berubah tempat. Akan tampak pula dimensi ruang dan letak dari posisi si penari. Baik penampilan merendah atau ke dasar lantai, berada di tengah-tengah atau lebih meninggi, secara garis buesar, tingkatan atau level dalam ruang lingkup tari adalah: level rendah, level medium, level tinggi.
c. Tempo/Waktu
Jika seorang penari melakukan beberapa gerakan, maka akan tampak adanya peralihan dari gerak yang satu ke gerak berikutnya. Dengan adanya peralihan ini akan tampak pula saat yang vakum sebagai nafasnya dari ungkapan gerak yang satu ke gerak berikutnya itu. Artinya, bahwa di dalam mengungkapkan sebuah tarian akan banyak ditemukan waktu atau tempo
sebagai sisipan antar gerak, walau sisipan waktu tersebut hanya sekejap.
Unsur waktu dalam ruang lingkup seni tari, ada dua bagian utama yang dominan, yaitu ritme gerak atau irama gerak dan tempo gerak. Pengertian tempo dalam hal ini adalah untuk mengukur sejumlah waktu didalam hal ini adalah sejumlah waktu didalam menyelesaikan suatu rangkaian gerak atau gerakan-gerakan. Sedangkan yang dimaksud dengan irama gerak atau ritme gerak yakni, jika kita meneliti ungkapan sutu rangkaian gerak, tentu akan tampak dan terasa ada sampai menghentikan gerak (Iyus Rusliana, dkk, 1986 : 14 - 17).
3. Fungsi Tari
Apabila tari ditinjau dari segi fungsinya, akan tampak potensinya berperan sebagai: sarana upacara, sarana hiburan, atau pergaulan, dan yang tetap berkembang sampai saat ini yakni tari sebagai sarana hiburan/tontonan/pertunjukan. Iyus Rusliana, dkk menyebutkan bahwa termasuk kategori tari sebagai sarana upacara adalah cenderung bersifat sakral atau adanya hubungan manusia dengan dikeramatkannya, baik upacara adat, maupun upacara keagamaan. Sedangkan tari sebagai sarana hiburan/pergaulan, sarana seni pertunjukan, dan sarana bidang studi, adalah termasuk pada kategori yang bersifat profane atau adanya hubungan manusia dengan manusia (Iyus Rusliana, dkk, 1986 : 73)
a) Tari berfungsi sebagai sarana upacara tidak lepas dari kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara, dimana tari didalamnya berperan sebagai salah satu media upacara tersebut.
b) Tari berfungsi sebagai sarana hiburan/pergaulan sering pula disebut tari kegembiraan, merupakan tarian yang cenderung hanya untuk kepuasan pelakunya sendiri dan tidak terlalu menitikberatkan pada segi artistiknya, karena tarian ini lebih mementingkan kepuasan individu pelakunya, maka sifat spontanitas dan improvisasi lebih menonjol.
c) Tari berfungsi sebagai sarana seni pertunjukan digarap untuk dipertontonkan, merupakan salah satu cabang seni yang memerlukan upaya agar tetap tumbuh dan berkembang sebagai cabang seni pertunjukan. Tari sebagai cabang seni pertunjukan memerlukan suatu tempat tertentu sebagai seni pentas atau cabang dari teater (Iyus Rusliana, dkk, 1986 : 74)
4. Pengertian Tari Tradisional
Tari tradisional merupakan sekelompok khasana tari yang sudah cukup lama berkembang sebagai warisan dari leluhur kita, yang pada umumnya telah memiliki prinsip-prinsip aturan yang sesuai dengan wilayah atau kedaerahannya (aturan yang sudah mentradisi).
Pengertian tradisional dalam kamus pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia yaitu ”tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh kepada norma-norma dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun” (1991 : 1069)
Pengertian tari tradisional menurut Soedarsono adalah “ semua tarian yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup lama yang selalu bertumpu pada pola-pola tradisi yang telah ada” (Soedarsono, 1977 : 29)
Sedang tari tradisional menurut Munasiah Najamuddin adalah ”suatu bentuk tari yang mengandung nilai-nilai luhur bermutu tingggi yang dibentuk dengan pola-pola gerak tertentu dan terikat, telah berkembang dari masa ke masa dan mengandung pola nilai filosofis yang dalam simbolis, religius dan tradisi yang tetap”. (Munasiah Najamuddin, 1983 : 13).

5. Pengertian Pa’jaga
Kata Pa’jaga terdiri dari dua suku kata yaitu Pa dan Jaga. Pa artinya orang yang melakukan sesuatu pekerjaan sedangkan Jaga arinya siap siaga. Pa’jaga berarti orang yang bersiap siaga (menanti musuh yang akan mengganggu raja).
Tari ini dipentaskan dalam rangkaian Upacara Maccera’ Manurung yang dilaksanakan setiap tahun (sekali dalam setahun) dimana Pa’jaga memberi hiburan kepada masyarakat yang menyaksikan upacara secara langsung.
Dari pengertian Tari dan Pa’jaga maka, dirangkailah menjadi satu kata yaitu Tari Pa’jaga adalah representasi simbol keberanian dalam melakukan penjagaan terhadap kerajaan khususnya perlindungan kepada keluarga raja. Tari ini merupakan kebanggaan masyarakat utamanya yang berdiam di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa. Kabupaten Enrekang apabila mengadakan suatu Upacara Maccera’ Manurung. Pada Upacara tersebut dapat disemarakkan dengan adanya Tari Pa’jaga di waktu siang dan malam hari. Personil tari Pa’jaga berjumlah 17 orang yang terdiri dari : 1 orang sajo, 4 passere, 4 penabuh gendang dan 8 penari yang semuanya diperankan oleh laki-laki.
a. Sekilas tentang Upacara Maccera’ Manurung
Maccera’ Manurung berupa kegiatan kontinyu yang dilaksanakan masyarakat sejak dahulu hingga sekarang. Setiap tahunnya setelah panen usai ini dilakukan sebagai pertanda rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang dihasilkan yang tidak kalah pentingnya menyampaikan pesan-pesan dan ajaran To Manurung dengan melalui beberapa prosesi.
Seperti pengertian Maccera’ Manurung yaitu “Maccera” berasal dari Bahasa Bugis yaitu “cera” artinya meneteskan darah dan “To Manurung” artinya orang yang berasal dari suatu tempat yang tertinggi, beradaptasi dengan masyarakat setempat dengan membawa pesan-pesan dan ajaran-ajaran yang baik.
Dalam Bingkisan Budaya Sulawesi (1997 : 17) dikatakan bahwa
“Tokoh To Manurung dipandang sebagai manusia luar biasa, tidak diketahui asal kedatangannya. Dia dipercaya sebagai orang yang berkekuatan sakti, menjelmakan diri pada suatu tempat, pada saat masyarakat setempat memerlukan pimpinan, maka orang yang luar biasa yang oleh masyarakat setempat To Manurung itulah disepakati menjadi pimpinannya”.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Maccera’ Manurung adalah suatu pesta yang dilakukan sebagai peringatan turunnya To Manurung untuk menyampaikan kembali pesan-pesan yang dibawa dengan berbagai prosesi/upacara, salah satu rangkaian Upacara Maccera’ Manurung adalah pagelaran Tari Pa’jaga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat satu kali dalam setahun setelah panen pertanian usai sebagai tanda syukur atas panen yang dihasilkan kepada sang Pencipta.

B. Kerangka Berpikir
Dalam pelaksanaan penelitian Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang akan melibatkan unsur yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya yakni antara sejarah Tari Pa’jaga dan bentuk penyajian tari Pa’jaga dalam upacara Maccera’ Manurung di Kabupaten Enrekang,
Untuk lebih jelasnya, kerangka berpikir dapat dilihat dari skema berikut:










Skema 1
Kerangka Berpikir



BAB III
METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Desain Penelitian
Variabel penelitian ini segala sesuatu yang menjadi objek penelitian adalah fungsi Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang.
Adapun variabel yang akan diamati adalah :
1. Sejarah pertunjukan Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.
2. Bentuk penyajian Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.



Skema 2
Desain Penelitian



B. Definisi Operasional Variabel
Dalam pemeliharaan variabel telah dikemukakan mengenai sub-sub variabel yang akan diamati, maka dalam bagian ini akan didefinisikan tentang maksud-maksud pada variabel tersebut.
1. Latar belakang tari Pa’jaga yang dimaksud adalah asal mula atau hal-hal yang menyebabkan terciptanya tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.
2. Bentuk penyajian Tari Pa’jaga dalam Upacara Maccera’ Manurung yang dimaksud adalah susunan atau tata urut yang meliputi komponen bentuk penyajian : jenis, pola lantai, jumlah penari, kostum, property musik pengiring dan tempat pertunjukkan.

C. Sasaran dan Responden
1. Sasaran
Dalam penelitian ini yang menjadi sasaran adalah pertunjukan tari Pa’jaga sebagai tari penyambutan tamu pada Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang.
2. Responden
Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah orang yang bisa memberikan informasi tentang perunjukan tari Pa’jaga sebagai tari penyambutan tamu pada Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang yang meliputi koreografer, pemusik, penari dan tokoh-tokoh masyarakat lain.

D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat tentang fungsi tari Pa’jaga pada Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang, maka diadakan pengumpulan data dan informasi yang dianggap perlu atau sesuai dengan tujuan penelitian.
Adapun teknik yang dilakukan adalah sebagai berikut
1. Observasi
Observasi dilakukan untuk memperoleh tentang kelakukan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang jelas tentang kehidupan sosial yang sukar diperoeh dengan metode lain. Observasi dilakukan bila belum banyak keterangan yang belum dimiliki tentang masalah yang kita selidiki untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, teknik yang dilakukan penulis yaitu dengan mengamati dan mencatat langsung tentang fungsi tari Pa’jaga pada Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang.
2. Wawancara
Teknik ini dilakukan dalam bentuk tanya jawab secara lengkap yang sifatnya terpimpin maksudnya tanya jawab bebas dengan responden guna memperoleh informasi atau data tentang pertunjukan tari Pa’jaga pada Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh lebih jelas.


3. Dokumentasi dan Pencatatan
Untuk menjaga keberhasilan ini dan menambh data, maka penulis menggunakan teknik dokumentasi sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan dan bahkan meramalkan sehingga dengan demikian sangat mendukung kepentingan penelitian kualitaif.
Dari hasil foto-foto tersebut yang digunakan peneliti untuk melengkapi sumber data yang dapat menunjang keberhasilan ini, serta mengabadikan bentuk-bentuk dan struktur, fungsi tari Pa’jaga pada Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang yang merupakan data untuk dianalisis.

E. Teknik Analisa Data
Menganalisa data yang diperoleh dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu mengklasifikasikan atau mengelompokkan data berdasarkan variabel. Kemudian dideskripsikan yakni dengan memaparkan data yang diperoleh sesuai dengan data yang telah ditemukan di lapangan. Dengan demikian dapat digambarkan secara mendetail tentang pertunjukan Tari Pa’jaga pada Upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang.











BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penyajian Hasil Analisis Data
1. Sejarah tari pajaga dalam upacara Maccera’ Manurung
a. Sejarah upacara Maccera’ Manurung
Sejarah turunnya To Manurung di Sulawesi Selatan yaitu pada Abad Ke X1 telah diketahui setiap etnis yang ada di Sulawesi Selatan yaitu Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja. Pada saat itu informasi mengenai ajaran Islam belum sampai ditengah-tengah masyarakat, maka kepercayaan yang dianut adalah adanya Dewata Sawwae, atau kepercayaan yang berhubungan dengan sistem religi. Dalam hal ini dijelaskan Baharuddin Makmur (1988: 117) bahwa: “Pada umumnya orang Bugis telah mengenal suatu kepercayaan sebelum mengenal Islam, mereka mempercayai adanya Dewata Sawwae disamping Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut lontara La Galigo fase turunnya/munculnya To Manurung di Limbuang berada pada fase ke tiga, dimana kondisi masyarakat Limbuang pada saat itu mengalami berbagai permasalahan, dimana masyarakat tidak mempunyai ketenangan dan ketentraman dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Problem dan permasalahan yang dihadapi tidak bisa terpecahkan dan tidak ada solusi yang terbaik sebagai jalan keluar atau dengan kata lain bahwa turunnya To Manurung di Limbuang tidak jauh beda dengan munculnya To Manurung di daerah munculnya saat masyarakat membutuhkan seorang pemimpin.
Maccera’ Manurung adalah suatu pesta yang dilakukan sebagai peringatan turunnya To Manurung untuk menyampaikan kembali pesan-pesan yang dibawa dengan berbagai prosesi/upacara, salah satu rangkaian Upacara Maccera’ Manurung adalah pagelaran Tari Pa’jaga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat satu kali dalam setahun setelah panen pertanian usai sebagai tanda syukur atas panen yang dihasilkan kepada sang Pencipta.
b. Sejarah Tari Pa’jaga
Tari Pa’jaga adalah salah satu tarian tradisional yang masih dipelihara di Kampung Limbuang Kabupaten Enrekang. Tarian ini dimulai beberapa abad yang lalu yaitu abad Ke X1 masehi yang bertepatan dengan turunnya To Manurung Laceppaga di Limbuang. Secara mitologi yang dipercaya oleh masyarakat setempat, turunnya To Manurung tersebut merupakan awal munculnya Raja di Limbuang. Sejak saat itu muncul tari Pa’jaga yang merupakan representasi simbol keberanian dalam melakukan penjagaan terhadap kerajaan, khususnya perlindungan kepada keluarga raja.
c. Pelaksanaan Maccera’ Manurung
Pelaksanaan Maccera’ Manurung meliputi :
1) Maksud Penyelenggaraan Maccera’ Manurung
Maksud pelaksanaan Maccera’ Manurung pada waktu itu adalah :
- Untuk memperingati turunnya To Manurung
- Untuk menyampaikan kembali pesan-pesan yang pernah disampaikan oleh tokoh To Manurung bagi masyarakat sebelum
menghilang.
- Sebagai tempat untuk bertemu keturunan To Manurung dan yang tidak termasuk keturunannya namun merasa perlu mengikuti acara tersebut karena hal-hal tertentu.
Adapun maksud dan tujuan penyelenggaraan Maccera’ Manurung sekarang ini dengan tidak menghilangkan maknanya adalah tanda syukur kepada Allah SWT atas berhasilnya panen pertanian dengan harapan panen berikutnya akan semakin baik.
2) Waktu dan tempat pelaksanaan upacara
Sejak dahulu, pelaksanaan upacara Maccera’ Manurung dilaksanakan dua hari satu malam. Penyelenggaraan pesta dilakukan setelah panen para petani, yaitu antara satu bulan setelah panen setiap tahun. Sekarang, penyelenggaraannya diadakan pada hari Kamis dan Jumat dengan alasan bahwa hari Jumat adalah hari jamaah atau hari berkumpulnya Umat Islam. Karena itu, tokoh masyarakat memilih hari Jumat sebagai pelaksanaan acara inti yaitu pembacaan Sajo atau pesan-pesan To Manurung setelah mengikuti Shalat Jumat. Tempat pelaksanaan upacara Maccera’ Manurung dilaksanakan di lapangan terbuka atau di Baruga.




Pelaksanaan Upacara Maccera’ Manurung pada saat sekarang ini dilaksanakan di dua tempat yaitu di lapangan atau baruga dan diatas gunung turunnya To Manurung. Bila Upacara Maccera’ Manurung dimaksudkan sebagai ucapan syukur maka pelaksanaannya di lapangan atau baruga dan hanya menyembelih ayam, sedangkan bila Upacara dimaksudkan sebagai ucapan syukur atas hasil panen dan untuk memperingati turunnya Tomanurung tempat pelaksanaannya diatas gunung dan menyembelih ayam, kambing dan kerbau. (wawancara Februari 2009)
3) Penyelenggara teknis Upacara
Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa setiap upacara atau kegiatan yang dilakukan tentu ada penyelenggara teknis. Penyelenggaraan upacara Maccera’ Manurung sebagai pelaksana adalah pemangku adat setempat bersama pimpinan formal pemerintahan seperti kepala lingkungan, kepala desa dan warga masyarakat sebagai pendukung acara.
4) Persiapan dan perlengkapan upacara
Jauh sebelum pesta upacara Maccera’ Manurung diselenggarakan masyarakat Limbuang telah siap menyambutnya. Mereka mempersiapkan segala kebutuhan dalam pelaksanaan pesta, seperti membuat ayun, menggantung lesung, kerbau potong, ayam, beras ketan, panggung dan tempat pelaksanaan.


Adapun orang yang terlibat langsung sebanyak 17 orang:
- 7 orang perempuan berpakaian baju bodo warna merah (dayang-dayang)
- 2 orang pembawa gendang, penabuh gendang
- 2 orang pembawa tombak, pengawal
- 5 orang yang termasuk pallima-limanna laceppaga (tokoh To Manurung)
- 1 orang protokol pengatur jalannya upacara
Dana yang dipergunakan pada penyelenggaraan acara tersebut ditanggung secara bersama-sama oleh masyarakat Limbuang
5) Prosesi upacara Maccera’ Manurung
Maccera’ Manurung yang dilaksanakan dari dulu hingga sekarang belum mengalami perubahan, ini dapat dilihat pada tahap tahapnya sebagai berikut:
- Maccera’ Manurung didahului dengan pemotongan ayam yang
dilaksanakan di lapangan karena jumlahnya cukup banyak, adapun jenis ayam yang dipotong yaitu ayam jantan dengan lima warna bulu atau ayam ceppaga dan ayam betina yang disebut ayam dengeng atau ayam yang mempunyai bulu merah kecoklat-coklatan.
- Kemudian dilanjutkan dengan pemotongan kerbau, ini dilaksanakan di lapangan namun sebelumnya harus dibentangkan tali untuk mengelilingi hewan korban dan kemudian dihubungkan dengan tempat pelaksanaan pesta.
- Diteruskan dengan shalat jum’at secara berjamaah di mesjid. Biasanya yang membawakan khutbah Jum’at dari utusan Departemen Agama.
- Setelah shalat Jum’at semuanya berkumpul di baruga atau di suatu tempat untuk memasuki acara inti yaitu penyampaian kembali pesan-pesan yang pernah diajarkan, diucapkan, ini disebut sajo. Yang berhak menyampaikannya adalah pemangku adat Limbuang dan utusan dari tetangga kampumg, dan perlu diketahui bahwa aktifitas kegiatan yang terkait dengan upacara inti. Ini artinya bahwa semua yang hadir diharapkan mendengarkan pesan-pesan tersebut.
- Penutup atau acara istirahat ditandai dengan pembagian sokko’ atau beras ketan yang sudah dimasak kepada para pengunjung.
Perlu diketahui bahwa kegiatan Maccera’ Manurung bukan hanya disaksikan dan diketahui oleh masyarakat setempat akan tetapi juga dihadiri masyarakat dari tetangga desa. Bukan itu saja ada yang datang dari Malaysia, luar kabupaten dan profinsi hanya untuk mengikuti prosesi Maccera’ Manurung karena acara ini dianggap penting dan menarik.






6) Lambang-lambang atau Makna yang terkandung dalam unsur-unsur prosesi Maccera’ Manurung
Maccera’ Manurung merupakan salah satu pesta adat yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Limbuang setiap tahunnya, memiliki beberapa lambang-lambang atau simbol-simbol yang dipergunakan dalam prosesi tersebut. Adapun lambang atau simbol yang merupakan unsur-unsur penyelenggaraan Maccera’ Manurung adalah:
- Bendera yang mempunyai lima macam warna dan lima kaki masing-masing melambangkan :
• Warna putih melambangkan imam atau pemimpin
• Warna kuning melambangkan Tomatoa (orang yang dituakan)
• Warna hitam melambangkan para pemangku adat
• Warna merah melambangkan sandro (dukun)
• Warna biru melambangkan para ketua adat yang mampu menjaga dan melestarikan nilai-nilai sejarah
- Bassi bandrangan atau besi bulat panjang sekitar lima meter, melambangkan keteguhan masyarakat memegang pesan-pesan yang telah dibawakan oleh To Manurung
- Daun sirih yang segar dan baik mengandung makna kesuburan, kesejahteraan dan keberhasilan
- Buah pinang sebagai lambang cita-cita harapan
- Barakka yaitu beras ketan yang dimasak setengah matang melambangkan penghormatan. Ini diberi empat macam warna yang melambangkan unsur kejadian manusia, yaitu merah melambangkan unsur api, kuning melambangkan unsur angin, hitam melambangkan tanah, putih melambangkan unsur air
- Banno atau beras biasa yang disangrai melambangkan kesucian
- Bacci’ garis lurus melambangkan kejujuran dalam melakukan sesuatu.

2. Bentuk Penyajian Tari Pa’jaga dalam upacara Maccera’ Manurung di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang
Bentuk penyajian yang dimaksud adalah tata urutan yang terdiri dari jenis tari Pa’jaga, pola lantai, jumlah penari, kostum atau busana penari, property, musik pengiring tari dan tempat pertunjukkan.

a. Jenis Tari Pa’jaga
Tari Pa’jaga mulai dari awal hingga akhir penyajiannya terdiri dari 4 jenis, yaitu :
1. Pa’jaga Bandang (gerak pembuka)
Gerakan pembuka sebagai tanda penghormatan kepada para hadirin. Hal ini menggambarkan persembahan dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Uraian gerak :
Dengan posisi melingkar penari berputar sambil bernyanyi. Setelah lagu selesai masing-masing penari membentuk baris 4 (duduk dengan posisi kedua tangan memegang selendang diletakkan diatas kaki kanan, kaki kiri jadi tumpuan) utuk mendengar sajo atau pesan-pesan To Manurung.







Adapun lagu yang dinyanyikan pada saat membentuk lingkaran adalah
Tabe’
Nasukku’ nasalama’
Gau’ ripamarentae
Wannang Putekka’ Mangngolo
Puassewwa/ puang dewata
Tassarawa riturusi ritopamarentae
Itanni ukkajungnge
Iya’si napolei anging
Iyasi nasarae

Artinya :
Izin memulai acara
Semoga tercurah keselamatan
Pada acara permulaan ini
Suci hatiku menghadap bagaikan benang putih
Kepada Tuhan
Mempersembahkan tarian ini
Di hadapan pemerintah
Lihatlah daun-daun kayu
Selalu mengikuti arah angin
Apa yang dianjurkan pemerintah
Harus kita jalankan

2. Pa’jaga Mattannung (gerak menenun)
Menggambarkan kegiatan masyarakat khususnya keluarga kerajaan dalam menenun atau membuat kain yang dilakukan oleh para dayang-dayang kerajaan pada zaman dahulu.
Uraian gerak :
Posisi penari duduk, kedua tangan memegang selendang diayun ke kanan lalu kekiri, kemudian kedua tangan ditekuk ke bawah lalu ke bawah sambil menunggu aba-aba bunyi gendang untuk berdiri. Setelah ada kode, penari berdiri secara serentak dan melakukan gerak maju mundur (tangan kanan memegang selendang, tangan kiri memegang keris di pinggang) 1x4 hitungan. Gerak diatas dilakukan 2x8 hitungan.
Membuka selendang 1x4 + 1x4 hitungan mundur, ayun selendang keatas dan ke bawah 1 – 4, arah hadap penari berubah pada hitungan 5 – 6 dengan posisi tangan kanan dan tangan kiri memegang selendang di depan dada (tangan kanan agak diatas, tangan kiri di samping kiri), ke kiri 3x setelah itu kedua tangan didorong, ditarik ke belakang bergantian, posisi badan condong ke depan. Penari bertukar tempat dengan gerak tangan diayun ke atas dan ke bawah secara bergantian, gerak di atas dilakukan 6x8 hitungan.
Penari menutup selendang, setelah itu semua penari kembali ke tempat semula dan duduk.








3. Pa’jaga Alo’ (burung)
Alo’ adalah sejenis burung besar selalu terbang tinggi mengitari perkampungan. Dalam gerakan Tari Pa’jaga burung alo’ tersebut digambarkan dengan gerak penari berputar menghentakkan kaki sambil mengeluarkan suara sebagai simbol pengawal yang selalu mengelilingi kerajaan/perkampungan melakukan penjagaan.
Uraian gerak
Kedua tangan diayun ke samping kiri dan kanan sambil menghentakkan kaki, kedua tangan diayun ke samping kiri dengan gerak tangan diputar kedalam. Tangan kiri memegang keris, tangan kanan tekuk keatas dan ke bawah 2x di samping badan (memegang selendang). Putar kekiri dengan gerak kedua tangan diayun keatas dan ke bawah. Tangan kiri memegang keris, tangan kanan diangkat ke depan setinggi telinga lalu digoyang-goyang sebanyak 5 kali.
Gerak diatas dilakukan 2x8 dengan posisi berputar, ke depan 3x8 hitungan, kembali ke tempat 5x8 hitungan, 3x8 ke belakang.




4. Pa’jaga Ma’baang (gotong royong)
Ma’baang adalah kegiatan gotong royong masyarakat dalam membuat rumah mulai dari penebangan kayu sampai pembuatan rumah.
Uraian gerak :
Mundur 2 kali ke belakang, putar ke kanan (tangan kiri memegang keris, tangan kanan memegang selendang dan ditekuk ke atas 1x4 hitungan, melangkah ke depan 1 kali sambil sentakkan tangan kemudian putar ke kiri 1x4 hitungan. Tangan dan kaki diayun secara bersamaan ke belakang, ke depan dengan posisi tangan kanan diputar kedalam, tangan kiri memegang keris di pinggang 1 – 6 hitungan, hitungan 7 – 8 penari maju dua kali dengan posisi tangan kanan ditekuk keatas setinggi kepala.Kedua tangan diayun (silang di depan dada) 1 – 2 hitungan dengan gerak maju mundur, hitungan 3 – 4 tangan kanan didorong ke depan, hitungan 7 – 8 penari bertukar tempat. Gerak diatas dilakukan 6x8 hitungan.












• Simbol gerak passajo (pembawa pesan-pesan To Manurung)
- Tappi’ (keris) ditegakkan
Maknanya : agar semua yang tidak baik dalam kampung dimusnahkan atau dihilangkan.
- Tappi’ (keris) direbahkan
Maknanya : bila kejelekan dalam kampung sudah hilang, kita ambil yang baiknya untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
• Simbol gerak passere terdiri dari :
- Makkabbutu (kaki disentakkan)
Bacaannya : bara mammase Puang Alla Ta’ala napatallangpi buku-bukunna to tana

Artinya : Semoga Allah SWT menyuburkan tanah agar tumbuh-tumbuhan bertambah subur.
- Angkat kaki
Bacaannya : mammase Puang Alla Ta’ala namonnurapa ura’na to tana-tana di tana na ma’tada natorroi makkatuo-tuo lalan di lino.

Artinya : semoga Allah SWT memperkuat urat-urat tumbuh-tumbuhan agar mendapatkan hasil untuk keperluan sehari-hari.

b. Pola Lantai
Pola lantai adalah posisi penari atau tata letak penari diatas panggung. Tari Pa’jaga mempunyai pola lantai melingkar, bershaf dan memanjang. Untuk pa’jaga bandang menggunakan pola lantai memanjang dan melingkar, untuk pa’jaga mattannung, pa’jaga alo’ dan pa’jaga ma’baang menggunakan pola lantai memanjang dan bershaf.










No Pola Lantai Ragam gerak
1











Ragam Bandang (penghormatan)

2



Ragam Mattannung (menenun)

3



Ragam Alo’
(gerakan burung)
13 x 8 hitungan

4



Ragam Ma’baang (membuat rumah)
10 x 8 hitungan

Gambar 9. Pola Lantai

Keterangan :
Posisi penari duduk
Posisi penari berdiri
Gambar arena panggung
Penari menghadap ke depan

Penari menghadap ke belakang
Penari menghadap ke kanan
Penari menghadap ke kiri
c. Jumlah penari
Tari Pa’jaga disajikan oleh 17 orang. Ketujuh belas orang tersebut mempunyai peran yang berbeda-beda yaitu : 1 passajo (orang yang bertugas menyampaikan pesan-pesan To Manurung), 4 orang passere (pengawal kerajaan), 4 orang pa’tumbu sumanga’ (penabuh gendang), dan 8 penari laki-laki keturunan To Manurung.

Gambar 10. Personil tari Pa’jaga
(Dokumentasi Hasriani Hasri, Maret 2009)
d. Kostum/busana penari
Kostum sangat membantu peranan gerakan dalam bentuk koreografi tari secara utuh. Pada tari tradisional kostum mempunyai arti dan fungsi yang simbolis. Kostum hendaknya tidak mengganggu gerakan dan keluwesan penari. Pemakaian kostum secara berlebihan selain tidak menguntungkan gerakan tari, juga akan menjadi beban bagi kepentingan visual yang berakibat pada kacaunya esensi gerakan tari. Bahkan kostum tidak usah kelihatan gemerlap, tetapi harus dapat memberikan keluwesan pada gerak sehingga membantu keindahan dan ekspresi gerak yang dapat menyatu dengan penghayatan si penari dalam membawakan tari. Adapun kostum tari Pa’jaga adalah baju, jas tutup lengan panjang warna hitam, celana panjang, passapu (ikat kepala), sarung (untuk passajo/ pembawa pesan-pesan To Manurung)
Kostum yang digunakan pada tari pa’jaga adalah baju jas tutup lengan panjang warna hitam, celana panjang warna hitam, passapu (pengikat kepala), sarung sutra (untuk passajo/orang yang membawakan pesan To Manurung yaitu ketua adat), tappi’/gajang (keris untuk penari pa’jaga dan passere).

Gambar. 11.a. Passajo ( pembawa pesan-pesan To Manurung )
(Dokumentasi Hasriani Hasri, Maret 2009)






Gambar 11.b Passere (pengawal)
(Dokumentasi Hasriani Hasri, Maret 2009)
e. Tata Rias
Pada saat pertunjukan tari pa’jaga, penari tidak menggunakan tata rias dengan alasan bahwa keaslian dari tari pa’jaga harus tetap dijaga/dipertahankan karena bila merubah aturan berarti melanggar adat.
f. Properti
Properti adalah suatu alat yang digunakan (digerakkan) dalam menari. Dalam tari tradisi beberapa bagian kostum (yang dipakai atau menempel pada tubuh) biasa digerakkan ketika menari dengan demikian maka bagian kostum tersebut menjadi properti tari. Sebagai properti lain adalah yang terpisah dari kostum baik yang berupa benda-benda keseharian maupun yang dibuat khusus untuk tari-tarian bersangkutan (Sumaryono, Endo Suanda 2006 : 104).
Adapun properti/alat yang digunakan dalam tari pa’jaga adalah keris sebagai lambang keberaniaan, sapu tangan warna kuning melambangkan kesuburan, tombak untuk passere/pengawal digunakan untuk menjaga kemungkinan adanya serangan musuh baik dari dalam maupun dari luar.

Gambar 12. a. Selendang

















Gambar 12.b. Tombak untuk passere Gambar 12.c. Gajang/tappi’ (keris)
(Dokumentasi Hasriani Hasri, Maret 2009)

g. Musik Iringan Tari
Seni tari selalu didampingi oleh musik sebagai pengiringnya yang membantu pengungkapan tari tersebut baik dalam hal irama, maupun penjiwaannya.
Fungsi musik dalam tari, yaitu (1) memberi irama (membantu mengatur waktu), (2) member ilusi dan gambaran suasana, (3) membantu, memperjelas/mempertegas ekspresi gerak, dan (4) merangsang bagi penari yang kadang-kadang mengilhami (Iyus Rusliana, dkk, 1986 : 96-97)

Tari hampir tidak pernah lepas dari musik bahkan dalam dunia tari tradisional para penari dan penyusun tari juga adalah pemusik. Ada beberapa nama tarian tradisional sama dengan nama musiknya, karena mungkin istilah “musik pengiring” itu tidak terlalu cocok pula untuk dipakai secara harfiah, karena belum tarian dahulu yang dibuat kemudian baru dicari musik untuk mengiringinya. Dalam banyak kasus tarian bisa juga disusun atas musik yang sudah ada. Maka tidaklah heran jika ada penari yang dikritik oleh pemusiknya dan juga sebaliknya pemusik dikritik penarinya. Dengan kata lain tari dan musik merupakan entitas kesenian yang sama pentingnya (Sumaryono, Endo Suanda, 2006 : 108).
Tari pa’jaga adalah tarian yang diiringi dengan nama musik yang sama dengan judul tariannya. Adapun alat musik yang digunakan sebagai pengiring tari pa’jaga yaitu empat buah gendang.
Tari Pa’jaga diiringi 4 alat musik gendang yang terbuat dari kayu dan kulit kerbau. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini


Gambar 13. Pa’ tumbu sumanga (Gendang)
(Dokumentasi Hasriani Hasri, Maret 2009)
Dalam tari pa’jaga, iringan musik disesuaikan dengan nama tari, yaitu pa’tumbu bandang, pa’tumbu mattannung, pa’tumbu alo’ dan pa’tumbu ma’baang.
1. Pa’tumbu Mattannung



Keterangan : Tak =
Tung =
2. Pa’tumbu Alo’


3. Pa’tumbu Ma’baang


B. Pembahasan
Tari pa’jaga salah satu tari tradisional yang merupakan rangkaian dalam upacara Maccera’ Manurung yang dilaksanakan di desa Limbuang Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang. Taian ini dimulai pada beberapa abad yang lalu, yakni sejak turunnya To Manurung Laceppaga di desa Limbuang. Secara mitologi yang dipercaya oleh masyarakat setempat, turunnya To Manurung tersebut merupakan awal munculnya raja di Limbuang. Sejak saat itu muncul tari Pa’jaga yang merupakan refresentase simbol keberanian dalam melakukan penjagaan terhadap kerajaan, khususnya perlindungan kepada keluarga raja. Sampai saat ini setiap tahun selalu dilakukan pesta adat Maccera’ Manurung, dan sebagai salah satu rangkaian kegiatannya adalah pagelaran tari Pa’jaga.
Menurut informasi dari beberapa nara sumber diantaranya Syamsinar, (pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Enrekang) mengatakan bahwa tarian ini awalnya merupakan hiburan bagi raja dan keluarganya.
Pada perkembangan selanjutnya tari Pa’jaga selain berfungsi sebagai tari penjemputan tamu kehormatan di Kabupaten Enrekang juga sudah mulai ditampilkan pada acara pernikahan dengan harapan tarian ini dikenal di masyarakat dan untuk menjaga kelestariannya.
Personil tari pa’jaga berjumlah 17 orang. Ketujuh belas orang tersebut mempunyai peran yang berbeda-beda yaitu : 1 passajo (orang yang bertugas menyampaikan pesan-pesan To Manurung), 4 orang passere (pengawal kerajaan), 4 orang pa’tumbu sumanga’ (penabuh gendang), dan 8 penari laki-laki keturunan To Manurung.
Ragam gerak tari Pa’jaga diambil dari 4 jenis nama tariannya yaitu : ragam bandang (gerakan pembuka) yaitu gerak penghormatan kepada hadirin, ragam alo’ (sejenis burung besar) yaitu gerakannya menyerupai gaya burung, ragam mattannung (menenun) gerakannya menggambarkan cara menenun kain, ragam ma’baang (gotong royong) yaitu menggambarkan cara mendirikan rumah yang berawal dari menebang, menggergaji sampai rumah itu berdiri. Dan setiap selesai satu ragam, penari duduk dengan maksud bermusyawarah untuk memilih jenis Pa’jaga yang akan ditarikan selanjutnya.
Dalam penyajian tari Pa’jaga disajikan dengan pola lantai melingkar, bershaf dan memanjang. Pola lantai bershaf dan memanjang bermakna satu tujuan dan melingkar bermakna mempersatukan hati kita menghadap kepada Tuhan untuk memohon do’a keselamatan.
Kostum/busana Passajo atau pembawa pesan To Manurung adalah baju jas tutup lengan panjang, celana panjang, sarung sutera, passapu atau ikat kepala dan keris, sedangkan untuk passere atau pengawal, pemain gendang dan penari hanya menggunakan jas tutup lengan panjang, celana panjang. Passapu atau pengikat kepala menghadap ke depan dengan maksud untuk menghormati tamu dan bila berbicara harus berhadapan dan harus berfikir sebelum berbuat.
Tari Pa’jaga menggunakan property seperti : tappi’/gajang (semacam keris), selendang dan tombak untuk passere. Untuk menampakkan karakter penari sebagai simbol keberanian dalam melakukan penjagaan terhadap keluarga raja.
Tari Pa’jaga semakin semarak jika diiringi empat tabuhan gendang yang memiliki bunyi yang berbeda tergantung ragam gerak apa yang dilakukan. Adapun nama tabuhan gendang untuk ragam bandang adalah gandang bandang, ragam alo’ disebut gandang alo’, ragam mattannung disebut gandang mattannung dan ragam ma’baang disebut gandang ma’baang.
Adapun urutan personil tari Pa’jaga yang pertama masuk arena panggung adalah pattungku sumanga’ passere, passajo dan terakhir adalah penari. Pada passajo membacakan pesan To Manurung keempat passere membagi diri ke posisi empat arah mata angin, sedangkan passajo berada di tengah.
Pada saat tari Pa’jaga ditampilkan maka pattungku sumanga’atau pemain gendang, passsere atau pengawal kerajaan dan passajo atau pembawa pesan To Manurung mengambil tempat di bagian belakang panggung. Passajo diapit oleh empat passere dalam posisi berdiri sedangkan pemain gendang duduk.













BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tari Pa’jaga diciptakan di desa Limbuang pada abad XI bertepatan dengan turunnya To Manurung pada masa pemerintahan Saweri Gading, tari Pa’jaga merupakan representasi simbol keberanian dalam melakukan penjagaan terhadap kerajaan, khususnya perlindungan kepada keluarga raja.
2. Tari Pa’jaga pada mulanya berfungsi sebagai hiburan untuk keluarga kerajaan, perkawinan keluarga raja,rangkaian upacara Maccera’ Manurung. Pada saat sekarang ini tari Pa’jaga disamping berfungsi sebagai tari hiburan juga berpungsi sebagai tari penjemputan tamu baik pada ulang tahun Kabupaten Enrekang ,maupun pada acara penjemputan tamu kehormatan , dan dapat pula diundang pada acara perkawinan dengan pertimbangan untuk melestarikan dan memperkenalkan tari Pa’jaga sebagai salah satu tari tradisional yang berada di Kabupaten Enrekang.
3. Tari Pa’jaga adalah suatu tarian yang disajikan oleh 17 personil dengan perincian: 1 orang passajo, (orang yang membacakan pesan-pesan kebaikan/ To Manurung), 4 passere (pengawal kerajaan), 4 pa’tungku sumanga’ (pemain gendang) dan 8 penari yang semuanya diperankan atau dibawakan oleh laki-laki keturunan To Manurung.
4. Penari Pa’jaga menggunakan kostum baju jas tutup lengan panjang, passapu(pengikat kepala), celana panjang, sarung (untuk passajo). Adapun properti yang digunakan yaitu selendang, tappi’ (keris) dan tombak (hanya digunakan oleh passere)
5. Pola lantai tari Pa’jaga terdiri dari memanjang, bershaf dan melingkar. Tari Pa’jaga terdiri dari empat jenis dan empat ragam yaitu Ragam bandang (gerakan pembuka), ragam alo’ (sejenis burung besar), ragam mattannung (menenun) dan ragam ma’baang (gotong royong).
6. Musik pengiring tari Pa’jaga adalah 4 buah gendang.

B. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan, maka berikut ini penulis mengajukan saran-saaran sebagai berikut:
1. Penelitian tentang tari pa’jaga di desa Limbuang kecamatan Maiwa kabupaten Enrekang hanya bersifat kualitatif deskriptif, untuk memahami lebih dalam tari ini diperlukan penelitian lebih komprehensif sehingga terungkap makna yang terkandung dalam tari tersebut secaraa keseluruhan.
2. Agar hasil penelitian ini dapat menjadi bagian dari upaya mempertahankan dan melestrarikan kemurnian karya seni daerah khususnya di kabupaten Enrekang.
3. Kepada pemerintah kecamatan Maiwa kabupaten Enrekang agar memberikan perhatian serius kepada pengelola tari pa’jaga untuk merangsang mereka lebih mencantai keseniaan daerahnya.
4. Perlu pencatatan dan pendokumentasian tari pa’jaga guna memudahkan generasi muda dalam mempelajari tari tradisional yang ada di Kabupaten Enrekang.




















DAFTAR PUSTAKA

Sumber Tercetak

Ahmad, 2003, “Makalah Hubungan Antara Maccera’ Manurung Dan Pengembangan Industri Pariwisata di Desa Limbuang Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang”. STKIP Muhammadiyah SIDRAP.

Aminah, Ny. Hazuh, P. Baharuddin Makmun, Sakim, Moh, 1988. Monografi Depdikbud Sulawesi-Selatan, Makassar.

Andi Zainal Abidin, 2000. Kebudayaan Masyarakat Massenrempulu. Makasaar.

Bingkisan budaya Sulawesi-Selatan, 1977. Co. Usmah Akademis Makassar.

Iyus Rusliana, Onong Nugraha, 1986, “Pendidikan Seni Tari”. Angkasa, Bandung.

Iyus Rusliana, Rosid Abdurachman, 1977, “Pendidikan Kesenian; Seni Tari”, Tarate. Bandung.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996. Balai Pustaka. Cetakan ke-III Jakarta.

M. Jazuli, 1994, “Telaah Teoritis Seni Tari”. IKIP Semarang Press.

Najamuddin, Munasiah 1983, “Tari Tradisional Sulawesi Selatan”. Bakti Baru: Ujung Pandang.

Robby Hidayat, 2005, “Wawasan Seni Tari: Pengetahuan Praktis bagi Guru Seni Tari”. Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Malang.

Silla Sarrang, 1993. Sejarah Pemerintahan di Wilayah Maiwa, Enrekang.

Sudarsono, 1986, “Elemen-elemen Dasar Komposisi Tari”. Lagaligo.


Narasumber

1. Nama : Saud
Tempat Tanggal Lahir : Limbuang, 23 Maret 1947
Alamat : Limbuang
Agama : Islam
Pekerjaan : Tani (Tokoh Masyarakat)
2. N a m a : Baddu
U m u r : 62 Tahun
Alamat : Desa Limbuang,
Pekerjaan : Tani (Pemangku Adat)


3. N a m a : Syamsinar, SS.
Temapat Tanggal Lahir : Limbuang, 12 Februari 1973
A l a m a t : Jl. Lasagaga No. 18 Maroangin
Agama : Islam
Pekerjaan : Staf Dinas Pariwisata Kabupaten Enrekang



















NARASUMBER



N a m a : Syamsinar, SS.
Tempat Tanggal Lahir : Limbuang, 12 Februari 1973
A l a m a t : Jl. Lasagaga No. 18 Maroangin
Agama : Islam
Pekerjaan : Staf Dinas Pariwisata Kabupaten Enrekang





NARASUMBER













N a m a : Baddu
U m u r : 62 Tahun
Alamat : Desa Limbuang,
Pekerjaan : Tani (Pemangku Adat)














SKRIPSI



TARI PA’JAGA
DALAM UPACARA MACCERA’ MANURUNG
DI DESA LIMBUANG KECAMATAN MAIWA
KABUPATEN ENREKANG



OLEH:
HASRIANI HASRI
0759043062








PROGRAM STUDI SENDRATASIK
JURUSAN SENI RUPA
FAKULTAS SENI DAN DESAIN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2009