HTML

materi kuliah

Selasa, 27 Juli 2010

peritonitis

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Tugas penyusunan tugas makalah ini adalah bukti upaya penulis untuk menyelesaikan sesuatu yang terbaik. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa apa yang dihasilkan masih banyak kekurangan dan kekeliruannya. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca agar dapat terwujud kearah yang lebih baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis bersedia menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun sebagai penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala kebaikan dan bantuan yang diberikan mudah-mudahan mendapat balasan dari Allah SWT yang berlipat ganda.
Amin Yarabbal A’lamiin.


Makassar,30 APRIL 2008

KELOMPOK VII



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Walaupun paru merupakan predileksi utama penyakit tuberkulosis (TB), namun bukan merupakan satu-satunya tempat infeksi, sebab TB praktis dapat mengenai semua jaringan tubuh manusia. Oleh karena sifat kuman TB yang obligat aerob, maka tidak mengherankan bahwa prevalensi TB di luar paru lebih rendah daripada TB paru. Menurut Starke), TB di luar paru merupakan 30% dan semua kasus TB pada anak, sedangkan pada
penderita dengan AIDS, TB di luar merupakan manifestasi TB yang tersering.
Walaupun secara umum prevalensi TB di luar paru tidak setinggi TB paru, namun penyakit ini masih banyak menimbulkan permasalahan, baik dari segi diagnostik, pengobatan maupun dari segi pemantauan hasil pengobatannya, teristimewa di daerah-daerah endemis.
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system gastroinbtestinal, mesenterium dan organ genetalia interna.
Penyakit ini jarang bersiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain.
Di negara yang sedang berkembang tuberkulosis peritoneal masih sering dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat lainnya walaupun sudah jarang ada kecendrungan meningkat dengan meningkatnya jumlah penderita AIDS dan imigran. Karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang jelas maka diagnosa sering tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan.
Tidak jarang penyakit ini mempunyai keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol.
B. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui secara garis besar tentang penyakit peritonitis TB, mulai dari defenisi, penyebab, sampai dengan asuhan keperawatan.




























BAB II
KONSEP MEDIK

A. Definisi
Peritonitis adalah inflamasi peeritonium – lapisan membrane serurosa rongga abdomen dan meliputi visera. Biasanya,akibat dari infeksi bakteri,organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita,dari organ reproduksi internal. Perotinitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera atau truma (mis;luka tembak atau luka tusuk ) natau oleh inflamasi yang luas yang berasal dari organ diluar area peritonium, seperti ginjal. Bakteri paling umum yang terlibat adalah E,coli,kleibsiela,Proteus,dan Pseudomonas. Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis adalah epindisiti,ulkus perporasi,divertikulitis, dan perforasi usus. Perotinitis juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialysis peritoneal.( Keperawatan Medikal Bedah Vol II, Brunner & Suddarth)
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum). (http: www.medicastore.com)
Peritonitis merupakan peradangan membran serosa rongga abdomen dan organ-organ yang terkandung di dalamnya. Peritonitis bisa terjadi karena proses infeksi atau proses steril dalam abdomen melalui perforasi dinding perut, misalnya pada ruptur apendiks atau divertikulum colon. Penyakit ini bisa juga terjadi karena adanya iritasi bahan kimia, misalnya asam lambung dari perforasi ulkus gastrikum atau kandung empedu dari kantong yang pecah atau hepar yang mengalami laserasi. Pada wanita, peritonitis juga terjadi terutama karena terdapat infeksi tuba falopii atau ruptur kista ovarium.


B. Anatomi Fisiologi
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m.obliquus abdominis eksterna, m.obliquus abdominis internus dan m.transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.6
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a.iliaca, a.sircumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna dan a.epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan.6
Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis I.6

C. Insidensi
Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering dekade ke 3 dan 4.
Tuberkulosis peritoneal dijumpai 2% dari seluruh tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberkulosis abdominal. Di Amerika Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara penyakit extra paru sedangkan peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB paru yang aktif
Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di negara maju.
Di Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberculosis peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di Rumah Sakit King Edward III Durban, Afrika selatan menemukan 145 kasus tuberkulosis peritoneal selama periode 5 tahun (1984-1988). Sedangkan dengan cara peritonoskopi, Daldiono menemukan sebanyak 15 kasus di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta selama periode 1968-1972 dan Sulaiman di rumah sakit yang sama periode 1975-1979 menemukan sebanyak 30 kasus tuberkulosa peritoneal. Begitu juga Sibuea dkk melaporkan ada 11 kasus Tuberkulosis peritoneal di Rumah sakit Tjikini Jakarta untuk

D. Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena traumaabdomen.
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Peritonitis bakterial primer:
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
 Spesifik : misalnya Tuberculosis
 Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
b) Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa).
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari :
 Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
 Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
 Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
c) Peritonitis tersier, misalnya
 Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
 Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan
 Peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
E. Kasifikasi Peritonitis TB
Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa
 Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum.
Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampaisebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupituberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang, Cairan asites kadang-kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.

 Bentuk adhesif
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luasantara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadang-kadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya perlengketan-perlengketan.
Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding ususdan peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi. Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar.
 Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadimelalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlengketan tersebut.
Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dan kemudian bentuk adhesif
Pemberian hispatologi jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan pengkejutan umumnya ditemukan.

F. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang terjadi bervariasi bergantung pada luas peritonitis, beratnya peritonitis, dan jenis organisme penyebab. Gejala yang terjadi biasanya adalah demam, leukositosis, nyeri abdomen (biasanya terus-menerus), muntah; dan abdomen yang tegangng, kaku, nyeri tekan lepas, dan tanpa bunyi. Pada peritonitis kronis ditemukan sedikit atau tidak ada nyeri tekan lepas. Demam dan leukositosis merupakan gejala khas penyakit ini

periode 1975-1977. sedangkan di Medan, Zain LH melaporkan ada 8 kasus selama periode 1993-1995.

G. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami udem. Udem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.









H. Penyimpangan KDM

























I. Komplikasi
Sering kali, inflamasi tidak lokal dan seluruh rongga abdomen menjadi terkena pada sepsis umum dari kematian pada peritonitis. Syok dapat diakibatkan dari septicemia atau hivopolemia. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang pertama berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang mengalami nyeri tekan, nyeri, atau merasa seakan sesuatu terbuka, harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukan adanya dehisens luka.
J. Prognosis
Peritonitis tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate

K. Evaluasi Diagnostik
Leokosit akan meningkat. Hemoglobin dan hemotokrit mungkin rendah bila terjadi kehilangan darah. Eletrolit serum dapat menunjukkan perubahan kadar kalium, natrium, dan klorida.
L. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Rontsen :
Pemeriksaan sinar tembus pada sistim pencernaan mungkin dapat membantu jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar.
• Ultrasonografi :
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limferetroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama. Mizzunoe, dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsy secara tertutup dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosa.

• CT Scan :
Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari tuberculosis peritoneal. Rodriguez E, dkk yang melakukan suatu penelitian yang membandingkan tuberculosis peritoneal dengan karsinoma peritoneal dengan melihat gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma
• Peritonoskopi (Laparoskopi) :
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan simtom sakit perut yang tak jelas penyebabnya dan cara ini dapat mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsy yang terarah dapat dilakukukan pemeriksaan histology dan bisa menemukan adanya gambaran granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kulturbisa ditemui BTA hampir 75%.
M. Penatalaksanaan
Penggantian cairan koloid, dan elitrolit adalah focus utama dari penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonic diberikan Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menemukan cairan dalam usus vaskuler.
Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri. Antimetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dapat menyebabkan tekanan yang membatasi ekspansi paru dan menyebabkan distress pernapasan. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan nafas dan bantuan ventilasi diperlukan.
Tetapi anti biotik masih biasanya dimulai diawal pengobatan peritonitis. Dosis besar dari anti biotic spectrum luas diberikan secara intravena sampai organisme penyebab infeksi diidentidfikasi dan terapi antibiotic khusus yang tepat dapat dimulai.
Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan menperbaiki penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (ependiks), reseksi dengan tau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas perlu perlu dibuat diversi feka


















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
1. AKTIVITAS / ISTIRAHAT
Gejala : Kelemahan
Tanda : Kesulitan ambulasi
2. SIRKULASI
Tanda : Takikardia, berkeringat, pucat, hipotensi (tanda syok).
Edema jaringan.
3. ELIMINASI
Gejala : Ketidakmampuan defekasi dan flatus.
Diare (kadang-kadang).
Tanda : Cegukan; distensi abdomen; abdomen diam.
4. MAKANAN / CAIRAN
Gejala : Anoreksia, mual / muntah; haus.
Tanda : Muntah proyektil.
Membran mukosa kering, lidah bengkak, turgor kulit buruk.
5. NYERI / KENYAMANAN
Gejala : Nyeri abdomen tiba-tiba berat, umum atau lokal, menyebar ke bahu, terus-menerus oleh gerakan.
Tanda : Distensi, kaku, nyeri tekan.
6. PERNAPASAN
Tanda : Pernapasan dangkal, takipnea.
7. KEAMANAN
Gejala : Riwayat inflamasi organ pelvik (salpingitis).



II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan pengkajian diatas,maka diagnosa yang diambil adalah :
o Infeksi risiko tinggi terhadap septikimia b/d tidak adekuatnya pertahanan primer.
o Kekurangan volume cairan b/d perpindahan cairan ke dalam usus.
o Nyeri akut b/d iritasi kimia peritonium perifer.
o Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual / peningkatan kebutuhan metabolik.
o Ansietas / ketakutan b/d ancaman kematian/perubahan status kesehatan.
III. INTERVENSI
Intervensi Rasional
1. Catat faktor resiko individu contoh trauma abdomen, apendisitis akut, dialisa peritoneal.
2. Kaji tanda vital dengan sering, catat tidak membaiknya atau berlanjutnya hipotensi, penurunan tekanan nadi, takikardi, demam, takipnea.
3. Catat perubahan status mental (contoh : bingung, pingsan).


4. Catat warna kulit, suhu, kelembaban.


5. Awasi haluaran urine.


6. Pertahankan tekhnik aseptik ketat pada perawatan drain abdomen, luka insisi/terbuka dan sisi invasi. Bersihkan dengan betadine atau larutan lain yang tepat.
7. Observasi drainase pada luka/drein.
8. Pertahankan tekhnik steril bila pasien dipasang kateter, dan berikan perawatan kateter/kebersihan perineal rutin.
9. Awasi/batasi pengunjung dan staf sesuai dengan kebutuhan. Berikan perlindungan isolasi bila diindikasikan.
10.Pantau tandi vital, catat adanya hipotensi (termasuk perubahan postural), takikardia, takipnea, demam. Ukur CVP bila ada.
11.Pertahankan masukan dan haluaran yang akurat dan hubungkan dengan berat badan harian. Termasuk pengukuran/perkiraan kehilangan contoh : pengisapan gaster, drein, balutan, hemovac, keringat, lingkar abdomen.


12. Ukur BJ urine




13. Obsevasi kulit dan membran mukosa untuk kekeringan, turgor. Catat edema perifer/sakral.
14. Hilangkan tanda bahaya/bau dari lingkungan. Batasi pemasukan es batu.
15. Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit dengan sering, dan pertahankan tempat tidu kering dan bebas lipatan.
16. Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, lama , intensitas (skala 0-10) dan karakteristiknya (dangkal, tajam, konstan).


17. Pertahankan posisi semi fowler sesuai indikasi.

18. Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, napas dalam, latihan relaksasi/visualisasi.
19. Berikan perawatan mulut dengan sering. Hilangkan rangsangan lingkungan yang tak menyenangkan.
20. Awasi haluaran sering NG. Catat adanya muntah/diare.

21. Auskultasi bising usus, catat bunyi tak ada/hiperaktif.


22. Ukur lingkar abdomen.


23. Timbang BB dengan teratur.



24. Kaji abdomen dengan sering untuk kembali ke bunyi yang lembut. Penampilan bising usus normal, dan kelancaran flatus.
25. Evaluasi tingkat ansietas, catat respons verbal dan non verbal pasien. Dorong bebas akan emosi.
26. Berikan informasi tentang proses penyakit dan antisipasi tindakan.
27. Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.


28. Kaji ulang proses penyakit dasar dan harapan untuk sembuh.
29. Diskusikan program pengobatan, jadwal, dan kemungkinan efek samping.
30. Anjurkan melakukan aktivitas biasanya secara bertahap sesuai toleransi, dan sediakan waktu untuk istirahat adekuat.
31. Kaji ulang pembatasan aktivitas contoh hindari mengangkat berat, konstipasi.
32. Lakukan penggantian balutan secara aseptik, perawatan luka.

33. Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan nedik, contoh berulangnya nyeri/distensi abdomen, muntah, demam, menggigil, atau adanya drainase purulen, bengkak/edema pada insisi bedah (bila ada).

1. Mempengaruhi pilihan intervensi.



2. Tanda adanya syok septik, endotoksin sirkulasi menyebabkan vasodilatasi, kehilangan cairan sirkulasi dan rendahnya status curah jantung.

3. Hipoksemia, hipotensi dan asidosis dapat menyebabkan penyimpangan status mental.

4. Hangat, kemerahan, kulit kering adalah tanda dini septikemia. Selanjutnya manifestasi termasuk dingin, kulit pucat lembab dan sianosis sebagai tada syok.
5. Oliguria terjadi sebagai akibat penurunan perfusi ginjal toksin dalam sirkulasi mempengaruhi antibiotik.
6. Mencegah meluas dan membatasi penyebaran organisme infektif/kontaminasi silang.



7. Memberikan informasi tentang status infeksi.
8. Mencegah penyebaran, membatasi pertumbuhan bakteri pada traktus urinarius.


9. Menurunkan resiko terpajan pada /menambah infeksi sekunder pada pasien yang mengalami tekanan imun.

10. Membantu dalam evaluasi derajat devisit cairan/keefektifan penggantian cairan dan respon terhadap pengobatan.

11. Menunjukkan status hidrasi keseluruhan. Keluaran urine mungkin menurun pada hipovolemia. Dan penurunan perfusi ginjal, tetapi BB masih meningkat menunjukkan edema jaringan/asites. Kehilangan dari pengisapan gaster yang mungkin besar, dan banyaknya cairan yang tertampung pada usus dan area peritoneal (asites).

12. Menunjukkan status hidrasi dengan perubahan pada fungsi ginjal, yang mewaspadakan terjadinya gagal ginjal akut pada respon terhadap hipovelemia mempengaruhi toksin.
13. Hipovolemia, perpindahan cairan, dan kekurangan nutrisi memperburuk turgor kulit, menambah edema jaringan.

14. Menurunkan rangsangan pada gaster dan respon muntah.

15. Jaringan edema dan adanya gangguan sirkulasi cenderung merusak kulit.


16. Perubahan dalam lokasi/intensitas tidak umum tetapi dengan menunjukkan terjadinya komplikasi. Nyeri cenderung menjadi konstan, lebih hebat, dan menyebar ke atas : nyeri dapat lokal bila terjadi abses.
17. Memudahkan drainase cairan/luka karena gravitasi dan membantu meminimalkan nyeri karena gerakan.
18. Meningkatkan relaksasi dan mungkin meningkatkan kemampuan koping pasiendengan memfokuskan kembali perhatian.
19. Menurunkan mual/muntah yang dapat meningkatkan tekanan/nyeri intra abdomen.

20. Jumlah besar dari aspirasi gaster dan muntah/diare diduga terjadi obstruksi usus, memrlka evaluasi lanjut.
21. Meskipun bising usus sering tidak ada, inflamasi /iritasi usus dapat menyertai hiperaktivitas usus, penurunan absorpsi air dan diare.
22. Memberikan bukti cuantiítas perubahan distensi gaster/usus dan/atau akumulasi asites.
23. Kehilangan/peningkatan dini menunjukkan perubahan hidrasi tetapi kehilangan lanjut diduga ada déficit nutrisi.
24. Menunjukkan kembalinya fungís usus ke normal dan kemampuan untuk memulai masukan per oral.

25. Ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, meningkatkan perasaan sakit, penting pada pada prosedur diagnostik dan kemungkinan pembedahan.
26. Mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas.

27. Membatasi kelemahan, menghematenergi dan dapat meningkatkan kemampuan doping.

28. Memberikan dasar pengetahuan pada pasien yang memungkinkan membuat pilihan berdasarkan informasi.
29. Antibiotik dapat dilanjutkan estela pulang, tergantung pada lamanya dirawat.
30. Mencegah kelemahan, menignkatkan perasaan sehat.


31. Menghindari peningkatan tekanan intra abdomen yangbtiak perlu dan tegangan otot.
32. Menurunkan resiko kontaminasi. Memberikan kesempatan untuk mengevaluasi proses penyembuhan.
33. Pengenalan dini dan pengobatan terjadinya komplikasi dapat mecegah penyakit/cedera serius.







IV. EVALUASI
 Meningkatkan penyembuhan pada waktunya, bebas drainase, purulen, eritema, tidak demam.
 Menyatakan pemahaman penyebab individu/faktor resiko.
 Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikan oleh haluaran urine adekuat dengan berat jenis normal, tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler meningkat dan berat badan dalam rentang normal.
 Laporan nyeri hilang/terkontrol.
 Menunjukkan ketrampilan relaksasi, metode lain untuk meningkatkan kenyamanan.
 Mempertahankan berat badan dan keseimbangan nitrogen positif.
 Menyatakan kesadaran terhadap perasaan dan cara yang sehat ntuk menghadapi masalah.
 Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
 Pasien tampak rileks.
 Menyatakan pemahaman proses penyakit dan pengobatan.
 Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab.
 Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan.










BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Tuberkulosis peritoneal (peritonitis TB) biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa ditempat lain
• Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering diagnosa terlambat baru diketahui.
• Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya dapat membantu menegakkan diagnosa
• Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan sembuh.
B. Saran
Adapun saran kami adalah di mohon kiranya agar di awal pertemuan, ibu memberikan beberapa materi kuliah dahulu sebagai dasar sebelum melakukan diskusi.
















Barbara & Suddarth., KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH Vol 2. Edisi 8 , 2002 , EGC : Jakarta.
Doenges, Merlinn. E. ASUHAN KEPERAWATA Edisi 3. 2000. EGC: Jakarta.
Inayah, Lin. ASKEP PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTIM PENCERNAAN Edisi 1. 2004. Salemba Medika: Jakarta.
Wilson, Lorraine;.Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses Penyakit Vol 1 Edisi 6 .2005. Penerbit Buku Kedokteran :EGC ; Jakarta.
http://www.farmacia/peritonitis.net
http://www.indoskripsi.com
http://www.library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani.pdf.
http://www.medicastore.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar