HTML

materi kuliah

Selasa, 27 Juli 2010

diare

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medik Penyakit DHF

1. Pengertian

Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh virus dengue famili flaviviridae, dengan gejala demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan syok, nyeri otot dan sendi serta dapat berujung pada kematian. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan subtropis. Di setiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda (RSIP Prof. Dr. Sulianti Saroso, 2007).

2. Etiologi

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti.

Virus Dengue

Gambar 1. Virus dengue

Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal, genus flaviviridae, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, 2, 3 dan 4. Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan perlindungan silang. Pada masing-masing segmen codon, variasi diantara serotipe dapat mencapai 11,0 % pada tingkat nukleotida dan 7,7 % untuk tingkat protein (Djunaedi, 2006). Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat biologis dan antigenitasnya.

Virus Dengue yang genomnya mempunyai berat molekul 11 Kb tersusun dari protein struktural dan non-struktural. Protein struktural yang terdiri dari protein envelope (E), protein pre-membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total protein, sedangkan protein non-struktural merupakan bagian yang terbesar (75%) terdiri dari NS-1 dan NS-5. Dalam merangsang pembentukan antibodi diantara protein struktural, urutan imunogenitas tertinggi adalah protein E, kemudian diikuti protein M dan C. Sedangkan pada protein non-struktural yang paling berperan adalah protein NS-1 (WHO, 1999).

Menurut Anis (2006), virus ini dapat tetap hidup (survive) di alam ini melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama, transmisi vertical dalam tubuh nyamuk, dimana virus dapat ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya yang nantinya akan menjadi nyamuk dewasa. Mekanisme kedua, transmisi virus dari nyamuk ke dalam tubuh mahluk vertebrata dan sebaliknya.

3. Vektor

Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae.) dari subgenus stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. Scutellaris complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegyti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus Dengue, biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Ae. aegypti (WHO, 1999).

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue termasuk didalamnya demam berdarah dengue sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, hingga yang paling berat yaitu dengue shock syndrome (Soegijanto, 2006). Dalam praktek sehari-hari, pada saat pertama kali penderita masuk rumah sakit tidaklah mudah untuk memprediksikan apakah penderita demam dengue tersebut akan bermanifestasi menjadi ringan atau berat (WHO, 1999).

a. Kriteria klinis demam berdarah dengue:

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 1-7 hari. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :

1) Uji tourniquet positif

2) Petekia, ekimosis, purpura

3) Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi

4) Hematemesis dan atau melena

5) Hematuria

6) Pembesaran hati (hepatomegali)

7) Manifestasi syok/renjatan

b. Kriteria laboratoris :

1) Trombositopeni (trombosit <>

2) Hemokonsentrasi (kenaikan Ht > 20%)

Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO (1999) membagi menjadi 4 derajat keparahan, dimana derajat III dan IV dianggap dengue shock sindroma (DSS). Adanya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I dengue haemorrhagic fever (DHF) dan dengue fever (DF). Derajat keparahan infeksi virus dengue menurut WHO (1999) meliputi:

a. Derajat I

Demam disertai dengan gejala konstitusional non-spesifik dan manifestasi perdarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif dan atau mudah memar.

b. Derajat II

Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.

c. Derajat III

Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (<>

d. Derajat IV

Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

5. Patofisiologi

Patofisiologi DBD tidak sepenuhnya dipahami, namun terdapat dua perubahan patofisiologis utama yang menyolok terjadi pada infeksi virus dengue/DHF. Pertama adalah peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan meningkatnya kehilangan plasma dari kompartemen vaskuler yang mengakibatkan hemokonsentrasi, hipovolemia, tekanan nadi rendah dan terjadinya syok. Perubahan kedua adalah gangguan pada hemostasis yang mencakup perubahan vaskuler, trombositopenia, dan koagulopati. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-48 jam) (Soegijanto, 2006).

Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan. Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD. Kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a serta C5a meningkat (Soegijanto, 2006).

Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dijelaskan dengan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infeksi dengue sebelumnya. Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD (WHO, 1999).

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis infeksi virus dengue adalah:

a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE)

b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.

c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody. Proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.

d. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a (Suhendro et al dalam FKUI, 2007).

6. Epidemiologi

Infeksi virus dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara tropis dan subtropis, oleh karena peningkatan jumlah penderita, menyebarluasnya daerah yang terkena wabah dan manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yaitu dengue haemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS) (WHO, 1999).

Di Indonesia penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar keseluruh propinsi di Indonesia. Timbulnya penyakit DBD ditengarai adanya korelasi antara strain dan genetik, tetapi akhir-akhir ini ada tendensi agen penyebab DBD disetiap daerah berbeda. Hal ini kemungkinan adanya faktor geografik, selain faktor genetik dari hospesnya. Selain itu berdasarkan macam manifestasi klinik yang timbul dan tatalaksana DBD secara konvensional sudah berubah (WHO, 1999).

Jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. Faktor agent yaitu sifat virus dengue, yang hingga saat ini telah diketahui ada 4 jenis serotipe yaitu dengue 1, 2, 3 dan 4. Penelitian terhadap epidemi dengue di Nicaragua tahun 1998, menyimpulkan bahwa epidemiologi dengue dapat berbeda tergantung pada daerah geografi dan serotipe virusnya (WHO, 1997).

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik yang umum dilaksanakan pada penderita demam berdarah dengue (DBD) adalah uji laboratorium trombosit dan hematokrit.

Disamping itu, pengembangan teknologi laboratorium untuk mendiagnosa infeksi virus dengue terus berlanjut hingga sensitivitas dan spesifitasnya menjadi lebih bagus dengan waktu yang cepat pula. Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dengue ada yang bersifat spesifik dan non spesifik. Pemeriksaan yang bersifat spesifik diantaranya isolasi virus/identifikasi virus dan pemeriksaan serologi (uji hambatan hemaglutinasi (HAI), anti dengue IgM dan IgG (ELISA) dan lain-lain). Sedangkan pemeriksaan yang bersifat non spesifik misalnya pemeriksaan hematology dan radiology (Prodia, 2005).

8. Pengobatan dan Penatalaksanaan

Bagian terpenting dari pengobatannya adalah terapi suportif. Sang pasien disarankan untuk menjaga penyerapan makanan, terutama dalam bentuk cairan. Jika hal itu tidak dapat dilakukan, penambahan dengan cairan intravena mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan. Transfusi platelet dilakukan jika jumlah platelet menurun drastis (Suhendro, et al dalam FKUI, 2007).

Tidak menjadi keharusan untuk merawat semua pasien yang diduga terkena infeksi virus dengue/DHF di rumah sakit, karena syok hanya terjadi pada sekitar sepertiga pasien. Temuan penurunan kontinyu jumlah trombosit disertai dengan peningkatan hematokrit adalah indikator penting awitan syok. (WHO, 1999). Jika hal ini terjadi sebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam untuk mendapatkan cairan penggnti segera. Berikut tatalaksana rehidrasi menurut Depkes RI (1998) :

D5 Ringer Laktat atau D5 Ringer Asetat

7 ml/kg BB/1 jam


Gambar 2. Alur tata laksana pemberian cairan penderita DHF derajat I – II

Volume dan macam cairan pengganti penderita DHF sama seperti yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan dalam kurun waktu 2-3 jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit secara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang cukup dan cegah pemberian transfusi berulang (Soegijanto, 2006).

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung pada umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Berikut pedoman kebutuhan cairan rumatan untuk dehidrasi sedang menurut Depkes (1998) :

Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi

Derajat Dehidrasi

Kebutuhan Cairan

Jenis Cairan

Cara / Lama Pemberian

Berat 10 %

Gagal sirkulasi

(Plan C)

Sedang 6 – 9 %

Ringan 5 %

( Plan B )

30 ml / kg/1 jam

(+ 10 tts/Kg/Mnt)

+ 70 ml/kg/3 jam

(+ 5 tts/Kg/Mnt)

+ 50 ml / kg/3 jam

(+ 3 – 4 tts/kg/mnt)

Nacl 0,9 %

RL

Nacl 0,9 % : Rl atau

½ Darrow

½ Darrow atau oralit

IV / 1 jam

IV/ 3 jam atau IG / 3 jam

IV / 3 jam bila oral tidak memungkinkan / IG

Sumber : Depkes, 1998

Pada kasus DHF/DBD derajat III, penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan garam isotonik (ringer laktat, 5% dekstrose dalam larutan ringer laktat atau 5% dekstrose dalam larutan ringer asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam.

Ringer Laktat atau Ringer Asetat

10 - 20 ml/kg BB/1 jam


Gambar 3. Alur tata laksana pemberian cairan derajat III

Pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x). Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faali atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam. Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam (Soegijanto, 2006).

Ringer Laktat atau Ringer Asetat

10 - 20 ml/kg BB/- Bolus 30 menit


Gambar 4. Alur tata laksana pemberian cairan derajat IV

B. Konsep Dasar Keperawatan

Proses keperawatan adalah proses yang terdiri dari 5 tahap meliputi pengkajian keperawatan, identifikasi / analisa data ( diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi. Proses keperawatan menyediakan pendekatan pemecahan masalah yang logis dan teratur untuk memberikan asuhan keperawatan sehingga pasien dipenuhi secara komprehensif dan efektif

1. Pengkajian :

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dimana kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan , mengelompokkan, menganalisa data dan membuat identifikasi masalah. Dalam pengkajian data yang dikaji meliputi data objektif dan data subjektif. Adapun data yang harus dikumpulkan pada anak dengan gangguan sistem hamatologi: demam berdarah dengue (DBD) adalah:

a. Biodata

1) Identitas pasien terdiri dari nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, tanggal masuk rumah sakit dan nomor rekam medik (RM) serta diagnosa medik

2) Identitas penanggung jawab terdiri nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat dan pekerjaan orang tua

3) Identitas saudara mengidentifikasi tentang nama, usia, hubungan dan status kesehatan

b. Keluhan utama

Biasanya pasien datang dengan keluhan demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari, terdapat petechie pada seluruh kulit, perdarahan gusi, neyri epigastrium, epistaksis, nyeri pada sendi-sendi.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Sering menunjukan sakit kepala, nyeri otot, pegal seluruh tubuh, panas, sakit saat menelan, lemah, nyeri uluhati(epigastrium), mual, muntah, nafsu makan menurun.

d. Riwayat Penyakit Terdahulu

Ada kemungkinan anak yang telah terinfeksi penyakit DHF bisa terulang terjangkit DHF lagi, tetapi penyakit ini tak ada hubungan dengan penyakit yang pernah diderita dahulu.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit DHF dibawah oleh nyamuk jadi bila terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit ini dalam satu rumah besar kemungkinan tertular karena penyakit ini ditularkan lewat gigitan nyamuk.

f. Riwayat Kesehatan Lingkungan

Daerah atau tempat yang sering dijadikan tempat tinggal nyamuk ini adalah lingkungan yang kurang pencahayaan dan sinar matahari, banyak genangan air, vas bunga yang jarang diganti airnya, kaleng bekas tempat penampungan air, botol dan ban bekas. Tempat –tempat seperti ini biasanya banyak dibuat sarang nyamuk Janis ini. Perlu ditanyakan pula apakah didaerah itu ada riwayat wabah DHF karena inipun juga dapat terulang kapan-kapan.

g. Riwayat Tumbuh Kembang

Teori Kepribadian anak Menurut Teori Psikoseksual Sigmund Freud. Kepribadian ialah hasil perpaduan antara pengaruh lingkungan dan bawaan, kualitas total prilaku individu yang tampak dalam menyesuaikan diri secara unit dengan lingkungannya. Teori kepribadian yang dikemukakan oleh ahli psikoanlisa Sigmund freud (1856 - 1939). Meliputi tahap-tahap :

1) Fase oral, usia antara 0 - 11/2 Tahun

2) Fase anal, usia antara 11/2 - 3 Tahun

3) Fase Falik, usia antara 3 - 5 Tahun

4) Fase Laten, usia antara 5 - 12 Tahun

5) Fase Genital, usia antara 12 - 18 Tahun

h. Riwayat Psikososial

Meliputi tentang tempat tinggal, lingkungan rumah, dan hubungan antar anggota keluarga.

i. Riwayat spiritual

Support sistem keluarga, kegiatan keagamaan, harapan keluarga dan klien tentang kesembuhannya

j. Reaksi hospitalisasi

1) Pemahaman keluarga tentang sakit dan rawat inap di RS, reaksi orang tua yang terkadang marah, cemas, merasa bersalah dan frustasi

2) Pemahaman anak tentang sakit dan rawat inap :

a) Kekhawatiran berkaitan dengan perpisahan dari teman seusia dan kemampuan untuk mempertahankan posisi dalam kelompok sebaya

b) Menerima penyebab eksternal dan sakit, meskipun terletak di dalam tubuh ( Wong, 2003)

k. Aktifitas Sehari-hari

1) Nutrisi : kebiasaan yaitu pola makan, frekuensi, jenis, dan perubahan selama sakit, dimana pasien anak dengan demam berdarah dengue cenderung mengalami penurunan nafsu makan dan mual serta muntah.

2) Istirahat/tidur : kebiasaan yaitu waktu istirahat malam,waktu istirahat siang, menggunakan alat bantu atau tidak dan perubahan selama sakit. Perubahan atau gangguan pola tidur dialami oleh pasien DBD akibat dari peningkatan suhu tubuh (hypertermia) sehingga klien terbangun.

3) Hygiene : mecakup kebiasaan mandi, mencuci rambut, menggosok gigi, cenderung tidak mengalami perubahan selama sakit.

4) Eliminasi BAB yang mencakup : kebiasaan, frekuensi, warna, bau, konsistensi dan perubahan selama sakit. Yang perlu diperhatikan pada penderita demam berdarah dengue adalah adanya perdarahan usus atau lambung (melena).

l. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum : kesadaran, penampilan dihubungkan dengan usia, ekspresi wajah, kebersihan secara umum. Kekurangan volume intavaskuler/plasma yang dialami oleh penderita DBD dapat mengakibatkan klien menjadi lemah atau bahkan mengalami penurunan kesadaran atau renjatan (DSS).

2) TTV : Tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu biasanya menurun.

3) Kepala dan wajah : ubun-ubun cekung atau tidak, sudah menutup atau belum, mata cekung atau tidak, mukosa kering atau tidak. Perhatikan adanya perdarahan sub mukosa.

4) Sistem pernapasan :

Bila gejala telah lanjut klien mengeluh sesak nafas akibat adnya efusi pleua, pernafasan dangkal, cepat, perdarahan melaui hidung.

5) Sistem persarafan

Kondisi lanjut bisa terjadi penurunan kesadaran, gelisah, kejang.

6) Sistem kardivaskuler

a) Tidak ada nyeri pada areal jantung

b) Bunyi jantung I dan II

7) Sistem Pencernaan

a) Peristaltik usus meningkat

b) Mual-muntah atau nyeri ulu hati

8) Sistem Muskuloskeletal

Meliputi pemeriksaan ekstremitas, keadaan akral, kekuatan otot, kemampuan gerak sendi, terjadi kelemahan akibat dehidrasi.

9) Genetalia

Periksa keadaan genitalia, kebersihan genitalia.

10) Sistem Integumen

Perhatikan keadaan turgor kulit, adanya peteki, perdarahan membran mukosa.

11) Pemeriksaan Tingkat Perkembangan

Usia 0-6 bulan ( menggunakan DDST )

a) Duduk tanpa bantuan, condong ke depan ditunjang kedua tangan

b) Menggapai dan menggenggam benda dengan tangan sepenuhnya

c) Memegang botol

d) Menjulurkan tangan bila ingin digendong

e) Sepintas melihat pada benda yang jatuh

f) Mulai takut pada orang asing

g) Menyenangi mainan ”ciluk-ba”

h) Mulai mengeluarkan suara mirip kata-kata

Pertumbuhan : BB : dua kali berat lahir, peningkatan rata-rata BB per minggu adalah 90-150 gr selama 6-18 bulan.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respons individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan / proses kehidupan yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang merupakan tanggung jawab perawat.

Diagnosa keperawatan yang lazim muncul pada penderita demam berdarah dengue menurut Wong ( 2003 ) adalah sebagai berikut :

a. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan proses infeksi penyakit.

b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah, anoreksia, nyeri menelan

c. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi

d. Resiko syok hypovolemik hubungan dengan perdarahan, kebocoran plasma.

e. Resiko terjadi perdarahan ulang berhubungan dengan trombositopeni.

3. Perencanaan

Meliputi perumusan tujuan yang akan dicapai dengan intervensi. Tujuan harus spesific, measurable, actual, realiable/realistis, time (SMART) dan ditegaskan dalam bentuk kriteria yang diharpkan adanya perubahan keadaan atau perilaku pasien.

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi (viremia)

Tujuan : Bebas demam, klien akan menunjukkan suhu tubuh 360 C – 370 C.

Intervensi:

1) Kaji tanda-tanda vital tiap 3 jam.

Rasional: Perubahan tanda-tanda vital merupakan indikator terjadinya infeksi/peradangan

2) Berikan dorongan untuk minum sesuai anjuran (2,5-3 liter/24 jam).

Rasional: Pemberian cairan dapat mengganti cairan yang hilang dan mempertahankan perfusi jaringan yang dibutuhkan untuk mendukung volume sirkulasi.

3) Beri kompres hangat pada dahi, aksilla dan lipat paha.

Rasional: Terjadinya vasodilatasi pembuluh darah sehingga panas dihantarkan ke perifer, terjadi evaporasi dan suhu tubuh kembali normal, mencegah kerusakan otak akibat hipertermi.

4) Libatkan keluarga dalam tindakan mandiri perawat.

Rasional: Agar keluarga dapat belajar cara perawatan anak hipertermi sehingga nanti keluarga tidak bergantung pada perawat jika menghadapi klien dengan peningkatan suhu tubuh secara tiba-tiba.

5) Pertahankan masukan cairan

Rasional: Mencegah terjadinya dehidrasi akibat evaporasi yang berlebihan

6) Penatalaksanaan pemberian antipiretik

Rasional: Antipiretika yang mempunyai reseptor di hypothalamus dapat meregulasi suhu tubuh sehingga suhu tubuh diupayakan mendekati suhu normal.

b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia dan sakit saat menelan

Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, klien mampu menghabiskan makanan yang telah disediakan

Intervensi:

1) Kaji faktor – faktor penyebab

Rasional: Penentuan faktor penyebab, akan menentukan intervensi/tindakan selanjutnya.

2) Jelaskan pentingnya nutrisi yang cukup.

Rasional: Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga sehingga klien termotivasi untuk mengkonsumsi makanan.

3) Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil dan sering, jika tidak muntah teruskan (15-30 cc setiap ½ -1jam )

Rasional: Menghindari mual muntah dan distensi perut yang berlebihan.

4) Lakukan perawatan mulut yang baik setelah muntah

Rasional: Bau yang tidak enak pada mulut meningkatkan kemungkinan muntah.

5) Ukur berat badan setiap hari.

Rasional: Berat badan merupakan indicator terpenuhi tidaknya kebutuhan nutrisi

6) Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien.

Rasional: Mengetahui jumlah asupan / pemenuhan nutisi klien.

c. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit

Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.

Intervensi:

1) Kaji tingkat nyeri yang di alami pasien dengan memberi rentang nyeri (0-10).

Rasional: Mengetahui tingkat nyeri untuk menentukan intervensi selanjutnya.

2) Kaji faktor-faktor yang mem-pengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri (budaya, pendidikan, dll).

Rasional: Reaksi pasien terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh berba-gai faktor, dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka perawat dapat mela-kukan intervensi yang sesuai de-ngan masalah klien.

3) Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.

Rasional: Mengurangi rangsang nyeri akibat stimulus eksternal

4) Berikan suasana gembira bagi pasien, alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri (libatkan keluarga). Anjurkan pasien untuk mem-baca buku, mendengar musik, nonton TV (mengalihkan perhatian).

Rasional: Dengan melakukan aktifitas lain, pasien dapat sedikit melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.

5) Berikan kesempatan pada pasien untuk berkomunikasi dengan teman-temannya/orang terdekat.

Rasional: Tetap berhubungan dengan orang-orang terdekat/teman membuat pasien gembira/bahagia & dapat me-ngalihkan perhatiannya terhadap nyeri.

6) Berikan obat-obat analgetik (kolaborasi dokter).

Rasional: Dengan efek farmakologik akan menekan reseptor nyeri sehingga proses transmisi dan modulasi nyeri terhambat.

d. Resiko terjadi syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan.

Tujuan:

1) Tidak terjadi syok hipovolemik.

2) Tanda-tanda vital dalam batas normal.

3) Keadaan umum membaik.

Intervensi:

1) Monitor keadaan umum pasien.

Rasional: Dengan memonitor keadaan umum pasien, perawat dapat segera me-ngetahui jika terjadi tanda-tanda pre syok/syok sehingga dapat se-gera di tangani.

2) Observasi tanda-tanda vital tiap 2-3 jam.

Rasional: Tanda vital dalam batas normal menandakan keadaan umum pasien baik, perawat perlu terus mengobservasi tanda-tanda vital selama pasien mengalami perdarahan untuk memastikan tidak terjadi pre syok/syok.

3) Monitor tanda-tanda perdarahan.

Rasional: Perdarahan yang cepat diketahui dapat segera diatasi, sehingga pasien tidak sampai ke tahap syok hipovolemik akibat perdarahan hebat.

4) Jelaskan pada pasien/keluarga tentang tanda-tanda perdarahan yang mungkin dialami pasien.

Rasional: Dengan memberi penjelasan & me-libatkan keluarga diharapkan tan-da-tanda perdarahan dapat diketa-hui lebih cepat & pasien/ keluarga menjadi kooperatif se-lama pasien di rawat.

5) Anjurkan pasien/keluarga untuk segera melapor jika ada tanda-tanda perdarahan.

Rasional: Keterlibatan keluarga untuk segera melaporkan jika terjadi perdarahan terhadap pasien sangat membantu tim perawatan untuk segera melakukan tindakan yang tepat.

6) Pasang infus, beri terapi cairan in-travena jika terjadi perdarahan (kolaborasi dengan dokter).

Rasional: Pemberian cairan intravena sangat diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh yang hebat yaitu untuk mengatasi syok hipovolemik. Pemberian infus dilakukan dengan kolaborasi dokter

7) Segera puasakan jika terjadi perdarahan saluran pencernaan.

Rasional: Puasa membantu mengistirahatkan saluran pencernaan untuk sementara selama perdarahan berasal dari saluran cerna.

8) Pantau nilai laboratorium, cek Hb, Ht, trombosit (sito).

Rasional: Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang di alami pasien & untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut terhadap perdarahan tersebut.

9) Perhatikan keluhan pasien seperti mata berkunang-kunang, pusing, lemah, ekstremitas dingin, sesak nafas.

Rasional: Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh perdarahan tersebut pada pasien sehingga tim kesehatan le-bih waspada.

10) Berikan tranfusi sesuai dengan program terapi.

Rasional: Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang.

11) Monitor masukan & keluaran, catat & ukur perdarahan yang terjadi, produksi urin.

Rasional: Produksi urin yang lebih pekat & lebih sedikit dari normal (sangat sedikit) menunjukkan pasien kekurangan cairan. & mengalami syok.

12) Berikan obat-obatan untuk me-ngatasi perdarahan sesuai dengan program dokter.

Rasional: Untuk membantu menghentikan perdarahan.

13) Bila terjadi tanda-tanda syok hipovolemik, baringkan pasien terlentang atau posisi datar.

Rasional: Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk.mempermudah perfusi jaringan.

14) Berikan terapi oksigen sesuai dengan kebutuhan.

Rasional: Terjadinya perdarahan hebat maka suplai oksigen ke jaringan terganggu.

e. Kecemasan orang tua berhubungan dengan perubahan status kesehatan anak

Tujuan : Orang tua klien akan menunjukkan rasa cemas berkurang/tidak ada, dengan kriteria:

1) Ekspresi wajah yang ceria.

2) Tampak tenang.

3) Mengerti tentang kondisi dan penyakit anak.

Intervensi:

1) Kaji sejauh mana kecemasan dan pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya.

Rasional: Memudahkan dalam pemberian pemahaman tentang penyakitnya sesuai dengan tingkat pengetahuan orang tua dan sebagai pedoman untuk intervensi selanjutnya.

2) Beri penjelasan kepada orang tua klien tentang penyakit anaknya.

Rasional: Informasi dapat meningkatkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah yang berlebihan.

3) Beri kesempatan kepada orang tua klien untuk mengungkapkan perasaannya.

Rasional: Mendorong penerimaan situasi dan kemampuan orang tua untuk mengatasi cemas yang dialami.

4) Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.

Rasiona: Suasana lingkungan yang nyaman akan memberi rasa tenang.

5) Libatkan orang tua klien dalam rencana perawatan anaknya.

Rasional: Keterlibatan orang tua pada perawatan anaknya dapat mengurangi kecemasan.

f. Resiko tinggi terjadi penularan penyakit berhubungan dengan kurangnya pengetahuan.

Tujuan : Mencegah resiko infeksi, melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan hitungan yang aman dengan kriteria :

1) Tidak terjadi infeksi pada klien

2) Klien merasa aman karena lingkungan yang sehat

Intervensi:

1) Ajarkan cara mencucui tangan yang benar pada orang tua dan pengunjung.

Rasional: Mencegah penyebaran infeksi.

2) Pertahankan cara mencuci tangan yang benar.

Rasional: Mengurangi resiko penyebaran infeksi.

3) Pertahankan teknik septik/antiseptik.

Rasional: Mencegah terjadinya infeksi silang.

4. Implementasi

Implementasi adalah realisasi rencana tindakan dalam proses keperawatan dan sangat menuntut kemampuan intelektual, keterampilan dan teknik keperawatan

Pelaksanaan keperawatan sesuai dengan rencana keperawtan yang didasari kebutuhan klien untuk mengurangi atau mencegah masalah serta merupakan pengelolaan atau perwujudan rencana keperawatan pada seorang klien.

Selama tahap implementasi perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan, instruksikan keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil.

Komponen-komponen tahap implementasi

a. Tindakan keperawatan mandiri.

b. Tindakan keperawatan kolaboratif.

c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap asuhan keperawatan.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi berguna untuk mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar